SENI TERBANG BUHUN SEBAGAI ALAT PENYEBARAN AGAMA ISLAM

Oleh – Sevtin Juliana

Kabupaten Sumedang, merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Barat yang terletak pada 107º 44” sampai 160º 30” bujur timur, dan 6º 36” sampai 7º 2” lintang selatan. Sumedang berasal dari kata insunmedal insunmandangan yang berarti aku lahir untuk memberi penerangan. Menurut Kasi Kesenian Disbudparpora Kabupaten Sumedang atau  yang biasa lebih dikenal sebagai Budayawan, Ade Rohana, beliau menjelaskan tentang Pergub 113 tentang pengembangan, pemanfaatan, serta pelestarian terhadap kesenian. Sedangkan, Jenis-jenis kesenian yang ada di sumedang yang sudah terinfralisir kurang lebih ada 59 jenis kesenian. Salah saatunya adalah seni Terbang Buhun yang ada di dusun pangjeleran, desa cigintung.

Seni Terbang Buhun ini dulunya dipakai untuk menyebarkan agama Islam ke masyarakat yang pada saat itu didominasi oleh masyarakat beragama Hindu. Begitu sulit untuk memberikan pemahaman tentang agama Islam kepada masyarakat yang tidak memeluk agama Islam. Penyebarannya pun dilakukan sedikit demi sedikit melalui budaya yaitu seni Terbang Buhun. Untuk memasukkan unsur Islam ke masyarakat Hindu, tentunya bagian dari agama Hindu harus masuk, dan unsur agama Islam pun harus masuk. Dimulai dari tradisi bakar kemenyan, dan menyuguhkan sesajen, sama seperti yang ada di dalam ritual agama Hindu. Kemudian, memasukkan unsur Islam menggunakan seni terbang dengan meleantunkan bait-bait sholawatan. Lalu dibuatkan seorang tokoh bernama Nyi Pohaci. Tokoh tersebut diceritakan mulai dari lahir, kemudian ditimang, lalu dipesantrenkan. Hanya saja istilah dipesantrenkan diganti dengan kata disekolahkan. Karena pesantren hanya ada di dalam unsur agama Islam. Cara itulah yang dilakukan oleh para wali yang menyebarkan agama Islam di wilayah desa cigintung.

Menurut orang terdahulu, ada delapan orang generasi penerus seni Terbang Buhun. Hanya saja, pak mardi, salah satu penabuh seni Terbang Buhun yang merupakan keturunan ke delapan itu hanya meningat lima keturunan terdahulu. Yaitu Pak Irmawi, yang kedua Pak Sarwita, yang ketiga Pak Kalsam, yang ke empat Pak Saca, dan yang kelima adalah Pak Mardi. Beberapa alat Terbang Buhun pun masih asli dari tiap- tiap keturunannya. Beberapa diantaranya buku kecil berukuran 10 x 13 cm, yang lembarannya sudah terlihat menguning dan tulisan arab yang tintanya mulai memudar, dan di tiap ujung buku terlihat kertas yang sudah mengelupas. Selain itu alat yang masih asli kuluwung  terbang yang terlihat seperti kayu bulat yang ditengahnya ada bolongan seperti terlihat dalam bentuk rebana di bagian belakannya dan gendang yang terbuat dari kayu pohon nangka. Pikulannya pun dibuat dari bambu aur tutul yang usianya sudah puluhan tahun. Kecrek dan gong pun mash asli. Gong ini bisa disebut sebagai gong lodong, yang menurut cerita orang terdahulunya diibaratkan sebagai tempat penyimpanan rahasia yang sering digunakan oleh pejuang- pejuang terdahulu untuk menyimpan senjata. Jika dilihat dari luar hanya terlihat seperti potongan bambu biasa. Dalam hal ini, gong lodong disebut sebagai senjata rahasia kesenian Terbang Buhun untuk menyebarkan unsur Islam kepada masyarakat. Tak jarang alat terbang ini diperbaiki. Diperbaikinya pun menggunakan alat- alat pengganti sederhanya saja dan hanya bagian tertentu saja yang di ganti dan di perbaiki. Misalnya kulit terbang dan kulit gendang diganti menggunakan kulit kambing. Tali pengikat dan pasak terbang juga mengalami perbaikkan.

Sebelum pertunjukkan Terbang Buhun dimulai, disiapkannya sesajen terlebih dahulu . Sebenarnya dalam hal sesajen ini tidak diwajibkan harus ada. Namun, ini hanya merupakan sebuah tradisi yang diturunkan dari keturunannya terdahulu. Karena sesajen ini mempunyai arti tersendiri. Pertama, seperti di dalam bahasa sunda ada ketupat yang bernama kupat kepeul, yang berarti  jika kita mempunyai rezeki, kita harus bisa menyimpannya untuk keperluan yang benar benar diperlukan. Kedua, ketupat panjang, artinya kita harus mempunyai pemikiran yang panjang. Ketiga, ketupat salamet, itu mengartikan bahwa kita meminta keselamatan pada yang maha kuasa. Keempat dan lima, Bubur merah dan bubur putih itu menyimbolkan bendera indonesia. Terakhir, Kemenyan, yang biasa disebut oleh orang terdahulu bahwa baunya yang wangi, jadi yang diambil dari arti kemenyan adalah wanginya yang harum.

Jika di lihat dari jumlah alat Terbang Buhun itu ada lima jenis. Mulai dari terbang kecil, sedang, dan besar, kecrek, gendang dan gong tiup. Kemudian sesajen ada enam jenis. Dari angka- angka tersebut menyiratkan sebuah tanda bahwa ini dibuat berdasarkan rukun Islam dan rukun iman dimana rukum Islam ada lima, sedangkan rukun iman ada enam.

Setelah sesajen telah disediakan, barulah para penabuh yang akrab disebut nayaga ini memulai pertunjukkan dengan membaca do’a terlebih dahulu, dilanjutkan dengan lagu bubuka atau lagu pembuka yaitu sholawatan yang kemudian diteruskan dengan membaca kentrung. Kentrung sendiri merupakan gambaran dari kisah Nyi Pohaci. setelah selesai baca kentrung, dilanjutkan dengan lagu- lagu buhun atau lagu- lagu yang sudah ada sejak dulu yaitu Kembang Bereum, Gayor, Kembang Gadung, Titipati, Malong, Benjang, dan yang sering terjadi kesurupan biasanya lagu Banjaran.

Seiring dengan bunyi terbang (alat yang menyerupai rebana) dan gendang bertalu- talu, terdengar suara sang dalang  yang kadang bersahutan dengan suara kor para penabuh gamelan menyanyikan syair- syair yang terdapat dalam buku kuno. Hingga terasa begitu kental suasana magis hadir disekitar tempat pertunjukan. Hal ini kadang membuat para penonton atau siapapun yang mendengar tanpa sadar turun ke arena tari menari dengan irama perlahhan tapi bertenaga kadang berputar cepat, bahkan ini dilakukan hingga tak sadarkan diri atau kesurupan. Untuk persoalan menari, diperlukan konsentrasi penuh supaya tidak kemasukan atau kesurupan.

Pada bulan-bulan tertentu, para nayaga Terbang Buhun hampir tidak ada waktu untuk beristirahat. Bahkan tidak jarang terjadi dalam satu hari bisa tampil di beberapa tempat. Undangan datang silih berganti. Ketika sarana transportasi masih sulit, mereka hanya dengan berjalan kaki untuk sampai di tempat hajatan. Ada kalanya mereka mendapat undangan dari tempat yang jauh, sehingga para nayaga harus melakukan perjalanan berjam- jam ditempuh dengan berjalan kaki. “Biasanya saya diundang dalam acara penikahan, sunatan, selesai panen, nadzar, dan acara syukuran lainnya. Saya pernah diundang Festival Terbang se- Jawa Barat bertempat di Taman Hiburan Dago, entah juara berapa tapi saya mendapat hadiah satu set Terbang. Yang kedua, di kabupaten Sumedang, Tepung Lawung Seni Terbang Tahun 2012 mendapat juara dua.” Ujar pak Mardi.

Dalam perjalanannya Terbang Buhun mengalami beberapa pergantian. Bukan hanya pasak terbang saja, tetapi pergantian nayaga juga. Hal ini terjadi karena nayaga yang ada sudah terlalu sepuh atau meninggal dunia, penggantinya harus satu keturunan atau masih ada hubungan keluarga dengan nayaga terdahulu. Inilah yang hampir menyebabkan punahnya seni Terbang Buhun. Pertama, dikarenakan sulit untuk mengeluarkan bakat dari keturunan yang menggantikan  nayaga terdahulu. Kedua dikarenakan keturunannya itu enggan dan merasa bakatnya bukanlah untuk meneruskan seni tersebut.

Akan tetapi, dua tahun belakangan ini seni Terbang Buhun mengalami perkembangan  dengan menghadirkannya seorang sinden atau penyanyi dan penari cilik. Hal ini dilakukan karena banyaknya permintaan dan tuntutan dari masyarakat sebagai penggemar seni. Kehadiran seorang pesinden dan penari cilik menambah semarak suasana perhelatan. Permintaan lagu pun tidak lagi jadi masalah bagi nayaga. Baik itu lagu- lagu lama maupun lagu baru. penari cilikpun merupakan pesona tersendiri bagi pertunjukkan seni Terbang Buhun ini. Pertunjukan kolaborasi ini berlangsung setelah pertunjukan Terbang Buhun selesai dilaksanakan. Sesungguhnya seni Terbang Buhun adalah seni pembuka untuk seni seni lainnya. Sehingga jika di tempat hajatan, yang selalu pertama kali muncul adalah seni Terbang Buhun, baru dilanjutkan dengan seni- seni lainnya. Atau bisa di kolaborasi.

Setelah acara hajatan telah usai, para nayaga pun berkumpul di salah satu rumah penabuh untuk membagikan berekat atau makanan. Pembagian berekat ini biasanya dilakukan oleh nayaga yang memikul gamelan terbang. Kemudian untuk pembagian uang, dilakukan oleh dalang atau pak mardi dan dibagikan secara merata.

Satu tahun belakangan ini pun, Terbang Buhun mendapatkan permintaan dari provinsi Jawa Barat bahwa seni terbang harus dilestarikan dengan cara memudakan. “Ya kebetulan Alhamdulillah sekarang sudah berjalan, sudah membina dua grup. Grup pertama anak- anak dari SMP ada empat orang dan SD ada dua orang. Satu grup itu minimal enam orang. Yang kedua dari remaja. Itu udah berjalan juga sudah tampil di muka umum. Kalau ada yang mau hajatan, atau nayaga aslinya bentrok di dua hajatan bisa dibagi gitu. Bisa buat menghandle. Ini juga masih dalam proses regenerasi.” Kata Pak ojon yang juga salah satu nayaga Terbang Buhun.

Pak Ojon dan nayaga lainnya mempunyai cara sendiri untuk melestarikan budaya seni Terbang Buhun.  Memang pokok yang paling pertama, adalah merawat alat kesenian terbang yang sudah menjadi tinggalan dari generasi pertama hingga sekarang. Jangan sampai ada kerusakan yang ditimbulkan. Kedua, tetap berlatih serta melatih para generasi muda dan tetap mencari para generasi penerus, mulai dari garis keturunan maupun tidak. Dengan begitu, masyarakat yang masih kental atau menikmati seni terbang tidak beralih untuk menyukai seni yang lainnya. Bahkan, pada saat ini penikmat seni Terbang Buhun mulai bertambah peminatnya dibandingkan menikmati orgen dan jaipongan. Karena seni Terbang Buhun ini jauh dari kerusuhan dan keributan dibanding dengan penikmat jaipongan yang mengundang kerusuhan. Kemudian dilihat dari alat seninya yang sederhana tapi dimainkan secara energik. Sehingga para anak remaja pada saat ini mulai menyukai seni Terbang Buhun.

Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Terbang Buhun di tengah–tengah masyarakat kabupaten sumedang masih eksis. Hal ini terjadi bukan hanya sekedar menyukai hiburan seni tersebut tetapi lebih kepada penghormatan kepada para karuhun atau leluhur atas peninggalan dan sejarah yang telah diturunkan secara turun menurun hingga saat ini. Sehingga penyebaran agama Islam di wilayah desa Cigintung pada masa itu membekas dan menyerap sampai pada saat ini yang telah didominasi oleh masyarakat beragama Islam.

a

Pak Ojon

Photo by: Sadeli Wahyudin

Leave a comment